Dana Desa: Membentuk Keterbukaan, Melatih Tanggung Jawab
Oleh: Andie Putra Pratama, S.STP*
Suatu pengalaman yang pertama kali sepanjang berdirinya Republik ini, Pemerintah memberikan sebuah terobosan kebijakan baru yang dinamakan dengan Dana Desa. Beriringan dengan kebijakan tersebut, Pemerintah juga membentuk Kementerian yang secara khusus menangani tentang Desa, yaitu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Desa saat ini menjadi prioritas utama dalam pembangunan, sesuai dengan konsep Nawacita Presiden Joko Widodo. Sejak bergulirnya kebijakan tersebut, Dana Desa menjadi pembicaraan utama dari sejumlah publik, apa sebenarnya esensi dari Dana Desa dan apa yang mendasari diberlakukannya Dana Desa tersebut.
Secara esensial, Dana Desa merupakan Dana yang diperoleh dari transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang dikategorikan sebagai sumber pendapatan Desa. Desa mengetahui dana yang bersumber dari Dana Desa setelah Pemerintah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Produk hukum yang mendasari tentang pembangunan Desa ialah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, termasuk di dalamnya membahas mengenai pemberian Dana Desa.
Mengimplementasikan pokok-pokok yang terkandung dalam undang-undang tersebut, Pada tahun 2015, Pemerintah mengucurkan Dana Desa sebesar 20,7 Triliun Rupiah atau diperuntukkan sekitar 300 juta Rupiah per Desa. Pada tahun 2016, Dana Desa mengalami peningkatan yang sangat signifikan menjadi 47 Triliun Rupiah atau sekitar 125 persen, sehingga rata-rata setiap desa menerima 600-800 juta rupiah atau dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Bahkan tahun 2017, ditargetkan akan meningkat lagi menjadi 1 Milyar per desa sesuai dengan rencana dari pemerintah. Ini menunjukkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk memberikan pemerataan terhadap 75.766 Desa di seluruh Indonesia dan mengharapkan agar pembinaan dari Dana Desa yang diberikan betul-betul tepat sasaran.
Perlu ditekankan bahwa Dana Desa hanya diperuntukkan untuk tiga bidang, yaitu Pembangunan Infrasruktur Desa, Pelayanan Dasar Desa, dan Pengembangan Kapasitas Ekonomi Lokal Desa. Bidang Pembangunan Infrastruktur Desa yang dimaksud meliputi pembangunan jalan-jalan Desa, irigasi, jembatan sederhana dan lain-lain. Untuk Bidang Pelayanan Dasar Desa seperti pembangunan dan pembinaan Pondok Bersalin Desa (Polindes), Poliklinik Desa, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan lain-lain. Sedangkan Bidang Pengembangan Kapasitas Ekonomi Lokal Desa contohnya adalah pembentukan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa), Koperasi Desa, Kelompok Pertanian (Poktan) dan lain-lain. Hal tersebut harus diketahui oleh seluruh Kepala Desa sebagai pengguna Anggaran agar tidak salah dalam menyusun dan menentukan rencana pembangunan desanya. Setiap pembangunan yang dilakukan dari Dana Desa tersebut harus bersifat padat karya, artinya harus melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat desa dalam pengerjaannya karena mereka tentu yang lebih mengetahui potensi dan kebutuhan yang ada di desa yang bersangkutan.
Pengawasan terhadap Penggunaan Dana Desa
Kebijakan pemberian Dana Desa tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan yang mendasar. Bagaimana memastikan peningkatan Dana Desa berefek positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa? Apakah dengan dana sebesar ini justru malah memberikan implikasi sebaliknya dengan hanya menjadi “permainan” saja? Menanggapi keraguan tersebut, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar menyatakan bahwa Pemerintah berusaha untuk mengawasi sepenuhnya pelaksanaan Dana Desa, melalui koordinasi efektif antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yaitu Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Melakukan Monitoring dengan terjun langsung ke daerah Kabupaten-kabupaten menjadi upaya efektif untuk memastikan setiap Desa telah menerima dana yang telah dianggarkan. Dengan demikian, dapat diminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang aparat Desa dalam penggunaan Dana Desa.
Di sisi lain, penggelontoran dana Desa sebesar itu tentu memberikan sebuah shock therapy bagi seluruh aparat desa. Bagaimana tidak, dengan dana yang besar tanpa diiringi dengan pengetahuan dan keterampilan yang menyeluruh dikhawatirkan akan menjadi mubazir dan cenderung mengarah pada tindak pelanggaran hukum. Tidak cukup hanya melakukan mekanisme check and balance yang baik, Penggunaan Dana Desa tentu harus dibarengi dengan serangkaian persiapan yang matang pada Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur desa. Persiapan tersebut dilakukan dengan melakukan pelatihan-pelatihan seperti pelatihan pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), pembuatan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), pelaporan keuangan Dana Desa.
Penggunaan Dana Desa harus dikawal karena merupakan tanggung jawab bersama, tidak hanya dari instansi yang terkait saja melainkan juga oleh para penegak hukum. Baik pihak kepolisian, Jaksa maupun Hakim diharapkan tidak memberikan intimidasi kepada para kepala Desa dengan ancaman kriminalisasi bagi mereka yang tidak dapat memberikan pertanggungjawaban Dana Desa. Langkah yang lebih baik untuk dilakukan adalah bersama-sama dengan pemerintah Daerah memberikan materi dan sosialisasi penggunaan Dana Desa. Memberikan perlindungan hukum kepada mereka justru akan memberikan ketenangan dan rasa aman bagi kepada Kepala Desa dan aparatnya dalam menjalankan penggunaan Dana Desa. Dengan kesiapan aparatur desa dan pengawasan yang optimal dari seluruh pihak, diharapkan ke depan Dana Desa dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
*Pelaksana Bidang Usaha Ekonomi Masyarakat
BPMPD Provinsi Kalimantan Selatan